Problem Orang Rimba

0 103

Ada alasan kenapa komunitas tertentu yang sebagian besar tinggal di Jambi itu disebut Orang Rimba. Dasar pertamanya jelas, yakni bahwa mereka bersandar pada hutan, lingkungan yang tak hanya berfungsi sebagai sumber penghidupan tapi juga sumber identitas budaya.

Meski ada golongan Orang Rimba menetap di rumah-rumah yang dibangun pemerintah di desa, terdapat kelompok yang masih hidup berpindah-pindah, bergantung pada hutan, dan nyaris tak bersentuhan dengan kehidupan luar hutan.

Untuk kategori terakhir disebut, perubahan lingkungan hutan karena pembalakan dan pembukaan lahan untuk transmigrasi serta perkebunan sawit selama berpuluh-puluh tahun berujung pada penyempitan ruang hidup–baik secara ekonomi, sosial, maupun budaya.

“Tujuan utama kami adalah menjaga hutan sesuai dengan adat dan tradisi suku kami. Jika tak ada hutan, tak ada Orang Rimba. Pun sebaliknya,” ujar Bepak Pengusai, kepala adat sebuah rombong Orang Rimba kepada The Guardian pada awal Juni.

Di tengah kesulitan demikian, siasat mesti diajukan demi tetap bertahan hidup. Jalan semacam ini bisa terlihat pada ratusan Orang Rimba yang terwartakan pindah keyakinan agar dapat memiliki KTP dan mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan.

“Alhamdulillah, pemerintah kini memperhatikan kami. Sebelum kami pindah agama, mereka tak peduli,” ujar seorang anggota suku yang memeluk Islam dan memakai nama baru, Muhammad Yusuf.

Dilansir BBC Indonesia, sekitar 200 dari 3.500 anggota Orang Rimba di Jambi pindah dari animisme ke Islam.

Menurut Yusuf, dia meninggalkan kepercayaan lamanya karena kian sulit mencari makan di tengah konflik dengan perusahaan-perusahaan sawit yang beroperasi di lingkungan tempat tinggalnya.

“Lebih enak tinggal di desa seperti ini, kehidupan kami lebih baik,” ujar Yusuf yang berhenti menjadi nomad pada Januari. Namun, ia mengatakan masih belum mendapatkan KTP.

Padahal, mengutip pernyataan seorang pemimpin suku yang bertahan hidup di tengah perkebunan sawit, tradisi tak membolehkan mereka berpindah keyakinan.

Mongabay, situs yang berfokus mengulas masalah lingkungan, menulis bahwa sejak abad ke-19, wilayah hidup Orang Rimba di kawasan Bukit Duabelas, sudah tertera pada Traktat Melayu.

Di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, kawasan adat Orang Rimba ditetapkan menjadi Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD), yakni seluas 60.500 hektare pada 23 Agustus 2000.

Di dalam TNBD, sesuai aturan zona Kementerian Kehutanan terdapat tujuh wilayah besar dan sembilan ketumenggungan wilayah hidup Orang Rimba.

Zonasi dimaksud dipandang mendorong eksodus. Akibatnya, kini kelompok tersisa di kawasan TNBD hanya Celitai, Jelitai, Grip, Melimun.

Selebihnya, seperti Ngukir, Ngadap, Ngamal/Mena, Girang/Meta, Nyenong, Maritua, Betaring, Ngelam, Majid sudah berpindah ke luar. Belakangan kelompok Tumenggung Buyung dan Hasan (dari Air Hitam), Kelompok Cukai (dari Air Hitam), dan Tumenggung Lidah Pembangun (berasal dari Kejasung Kecil) pun keluar.

Selain itu, sekitar 100 ribu hektare hutan di sekitar kawasan TNBD, yang dulunya juga menjadi tempat hidup Orang Rimba, sudah habis dibagi-bagi oleh 16 perusahaan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI).

Presiden Joko Widodo pada Oktober 2015 menghendaki pembangunan kawasan terpadu bagi Orang Rimba di Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, yang tepat berada di lereng TNBD.

Total anggaran kawasan terpadu itu mencapai Rp 9 Miliar, demikian warta Liputan6.com. Semestinya pembangunannya dimulai awal 2016 dengan mendirikan 70 unit rumah bagi Orang Rimba, tapi gagal.

Selain berisi rumah, kawasan terpadu itu juga menyediakan rumah penjaga sekolah, puskesmas pembantu (pustu), kantor UPTD Komunitas Adat Terpencil (KAT) serta jalan yang berada di dalam kawasan Areal Penggunaan Lain (APL).

Menurut antropolog, Adi Prasetijo, pendekatan pemerintah itu cenderung berorientasi pada nilai kebudayaan mayoritas, termasuk konsep desa (fisik, ruang, dan sosial) ala Jawa, dan orientasi pembangunan fisik yang menekankan kepada pemukiman.

Dalam hemat Adi, keharusan tinggal permanen bagi suku itu berarti harus siap bertahan dan bersaing dengan masyarakat desa. Tinggal menetap berarti harus berintegrasi dan menyesuaikan diri, mulai dari agama, struktur sosial, pemukiman, hingga standar kesehatan.

Namun, kata-kata Bepak Pengusai lagi-lagi dapat ditimbang-timbang. “Kami tak menolak bantuan dari luar jika memang itu berfaedah, karena kami sadar tak bisa menentang modernitas sendirian. Tapi, hutan milik Orang Rimba,” ujarnya.

BERITAGAR

Leave A Reply

Your email address will not be published.