Jakarta – Sekretaris Jenderal Badan Pemeriksa Keuangan Bahtiar Arif menyampaikan bahwa pihaknya tetap menjaga prioritas pemeriksaan keuangan negara sesuai amanat di dalam peraturan perundang-undangan di tengah adanya efisiensi anggaran BPK Rp1,38 triliun.
“Pemeriksaan yang masih kami anggarkan, artinya tidak termasuk dalam efisiensi anggaran yang diusulkan adalah pemeriksaan yang secara eksplisit disebutkan di dalam peraturan perundang-undangan untuk diperiksa BPK,” kata Bahtiar dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta, Jumat.
Pemeriksaan yang wajib dilakukan oleh BPK antara lain Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga (LKKL), Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (LKBUN), Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), Laporan Keuangan Pinjaman dan Hibah Luar Negeri (LKPHLN).
Kemudian Laporan Keuangan Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
BPK juga tetap memprioritaskan pemeriksaan kinerja atas penyelenggaraan haji. Selain itu, pemeriksaan yang wajib dilakukan juga termasuk pemeriksaan dengan tujuan tertentu (DTT) atas pertanggungjawaban keuangan bantuan partai politik (parpol); pencetakan, pengeluaran, dan pemusnahan uang; serta pelaksanaan pemilihan umum/pemilihan kepala daerah (pemilu/pilkada).
Bahtiar menambahkan, BPK memprioritaskan pemeriksaan dengan tema pembangunan manusia dan ketahanan pangan.
Selanjutnya, yang menjadi prioritas, juga termasuk pemeriksaan atas portofolio strategis yang ditujukan untuk mendukung tema utama atau untuk menilai kepatuhan terhadap perundang-undangan dan kecurangan, menilai penerapan kebijakan perizinan dan implementasinya, serta merespons isu strategis yang berkembang sesuai dengan masing-masing portofolio satuan kerja pemeriksaan.
“Untuk kelembagaan, memang untuk pengembangan big data analytics (untuk membantu pemeriksaan keuangan) sedang proses. Sudah digunakan, tapi belum maksimal. Tapi nanti akan kami sampaikan bagaimana rencana strategis pengembangan big data analytics. Sudah dilakukan termasuk untuk memeriksa belanja perjalanan dinas, kami sudah menggunakan itu semua,” kata Bahtiar.
Pada kesempatan tersebut, BPK mengusulkan efisiensi belanja APBN Tahun Anggaran 2025 sebesar Rp1,38 triliun dari pagu semula Rp6,15 triliun menjadi Rp4,77 triliun. Usulan ini telah disetujui oleh Komisi XI DPR RI dan selanjutnya akan disampaikan kepada Kementerian Keuangan.
Secara rinci, belanja pegawai dalam anggaran BPK tidak terjadi efisiensi atau tetap dari pagu semula, yakni Rp3,3 triliun.
Efisiensi paling banyak terjadi untuk belanja barang dengan persentase mencapai 49,40 persen atau Rp1,39 triliun, dari pagu semula Rp2,69 triliun menjadi Rp1,36 triliun.
Jika belanja barang dirinci, efisiensi belanja pemeriksaan sebesar Rp642 miliar (49,40 persen), dari pagu semula Rp1,3 triliun menjadi Rp657,99 miliar.
Sementara efisiensi belanja barang operasional sebesar Rp318 miliar (47,42 persen), dari pagu semula Rp670,6 miliar menjadi Rp352,6 miliar. Sedangkan efisiensi belanja non-pemeriksaan sebesar Rp367,9 miliar (51,24 persen), dari pagu semula Rp718 miliar menjadi Rp350 miliar.
Selain belanja barang, efisiensi juga terjadi untuk belanja modal yang ditetapkan sebesar Rp56 miliar (40 persen), dari pagu semula Rp140 miliar menjadi Rp84 miliar.
Apabila dirinci berdasarkan pembiayaan, sumber dana yang berasal dari rupiah murni dari sebelumnya Rp6,13 triliun dihemat Rp1,37 triliun sehingga menjadi Rp4,76 triliun.
Sumber lainnya yakni Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dihemat Rp11,29 miliar sehingga menjadi Rp10,9 miliar. Adapun hibah luar negeri (HLN) yang berasal dari Bank Dunia tetap Rp2,47 miliar.